Jumat, 22 Januari 2016

Ruang dan Waktu

RUANG DAN WAKTU

-------------------------------DILARANG KERAS MENGCOPY PASTE-------------------------------








Saat bibir tak mampu lagi bertutur. Saat kelenjar terbesar dalam tubuh tak mampu lagi menampung beban. Saat kepala tak mampu lagi mencerna. Dan masih banyak saat-saat yang lain dimana hanyalah mata yang berperan ketika tetes demi tetes terjun bebas membanjiri asa. Ketahuilah semua akan indah pada waktunya.

                                              ****

Rambut indah yang bergelombang itu kini hanya tampak seperti gulungan benang hitam, karena pemiliknya dengan sadis menjadikan landasan air yang terjun curam membasahi tubuh. Gurat kesedihan tercetak pada wajahnya yang selalu menampilkan keceriaan. Bibir yang memutih mampu terkalahkan dengan rasa panas menyelimuti jiwa.

Keluarga. Satu kata yang mungkin tidak selalu kau lafalkan setiap harinya. Satu kata yang mungkin tak pernah kau ucapkan secara lisan bahwa kau menyayangi atau bahkan mencintainya. Karena semua itu tidak perlu.Karena keluarga terukir manis dalam sanubari tanpa perlu diungkapkan.

Apa arti keluarga untuk mu? Tanpa mereka, mungkin kau tidak akan melihat betapa indahnya ciptaan sang kuasa. Tanpa mereka, mungkin kau tidak bisa berdiri menapaki bumi sambil menantang matahari. Tapi bagaimana jika suatu yang sangat berharga dan utama itu, rusak, dan kau tidak tahu apa penyebabnya?

Perceraian. Satu kata yang juga jarang terlontar dari bibir dan tak pernah pula singgah di otak. Namun bagaimana jika kata yang selalu terabaikan itu menyelinap masuk ke setiap aliran tubuh? Kata yang akan melekat abadi menjadi bagian kehidupan. Keluarga yang selalu tampak utuh, namun kini terpecah. Lalu, apa keharmonisan yang tercipta selama ini? Apakah semua hanya topeng?

“Gue benci semuanya!”

                                                  ****

“Satu kelas heboh gara-gara lo gak masuk kelas.” Pemuda itu –Gabriel- memecah keheningan.Ia menatap penuh kagum pada semua lukisan di kamar sahabatnya. Walaupun banyak dari lukisan itu yang Iel tak mengerti karena hanya berupa perpaduan antara garis horizontal dan vertikal, namun ada sensasi damai menyapu matanya.

Agni, gadis yang jadi lawan bicara Iel hanya diam tanpa ekspresi. Tak ada niat untuk mengucap sepatah kata atau setidaknya merespon dengan bahasa tubuh.

“Ini semua lukisan lo? Keren banget!” Iel memiringkan kepalanya menunjuk semua lukisan yang sejak tadi menyita perhatiannya. Sekelabat pertanyaan memenuhi kepalanya. Bahkan pria jangkung itu sempat berpikir bahwa Agni sudah salah minum obat.

Agni mengangguk. Bibirnya sulit sekali terangkat barang tersenyum sekali pun. Iel bahkan tak melihat raut over-PD yang selalu tergambar di setiap perkataan Agni. Tapi tak bisakah gadis itu sedikit membuat lelucon, agar tak hanya dirinya saja yang kelihatan bersemangat?

“Orang tua lo mana? Kok sepi?” Kembali mengulangi hal yang sama, Iel mencari pertanyaan yang sekiranya dijawab dengan lisan.

Agni menunduk dalam. Ucapan Gabriel seakan hantaman baginya yang sejak tadi berusaha dihindari. Di matanya masih tersimpan dengan jelas peristiwa bersejarah yang mungkin tak perlu repot-repot baginya untuk menghapal tanggal kejadian. Peristiwa dimana ia dengan senyum polosnya tidak sabar bertemu dengan sang Ayah. Dimana ia disambut kedua orang tuanya tak kalah pula dengan wajah tanpa dosa mereka. Dimana kedua orang tuanya dengan tenang mengatakan bahwa mereka telah resmi berpisah. Ingin sekali gadis dengan watak periang itu terbangun dari tidur panjangnya.

“Gue capek Iel. Mau istirahat.” Agni menarik selimut Angry Birdnya dan sengaja menutupi seluruh tubuh. Agar ia dengan leluasa menangis melepaskan beban hidup.

Iel terhenyak. Ini bukan lah Agni yang dikenalnya. Seberapa kesalnya gadis itu kepadanya, tak pernah Iel melihat Agni sedingin ini. Mau tidak mau pria jangkung itu melangkahkan kakinya menjauhi Agni, sang gadis yang entah sejak kapan memenuhi ruang kosong hatinya. “Get well soon Ag!”

                                            ****

Sakit. Perih. Sesak. Semua bercampur aduk membuat siapa pun penderitanya mual. Tiga hari berlalu dan tak ada yang dapat mengobati luka mendalam gadis ini. Agni menggigit jarinya. Suatu kebiasaan buruk yang selalu dilakukannya untuk menutupi kerapuhan. Tentunya dalam dekapan Iel.

Iel bisa merasakan betapa hangatnya nafas Agni. Jarak mereka yang terlalu dekat membuat pria ini bisa merasakan setiap kesulitan yang sedang dialami Agni. Wajah Agni yang memar karena bekas tamparan ayahnya sungguh membuat Iel meringis. Hatinya kian remuk saat mengetahui bahwa dirinya masih berstatuskan tokoh polos dan sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada gadis pujaannya.

“Bisa lo jelasin ke gue sebenarnya ada apa?” Tanya Iel sambil tersenyum. Kedua bola matanya tak sedikit pun beranjak dari wajah cantik Agni. Demi Tuhan dia tidak tau, sejak kapan rasa itu muncul. Tapi biarlah mengalah, biarkan dia mengalah dengan sang pedang. Biarkan sepotong hati tulusnya mengalah dengan ruang dan waktu. Because true space without true time, just in vain.

“Everything has changed. Gue gak penah nyangka kalau gue  bakalan masuk dibagian deretan anak korban broken home. Jauh lebih sakit dari yang gue bayangin. Mereka bukan lagi 2 orang anak remaja yang dengan gampangnya memutuskan semua sudah berakhir. Disini ada gue, ada gue yang gak tau harus gimana, ada gue yang bahkan takut dengan kenyataan.”

Agni menyeka air mata yang memenuhi pelupuk matanya. Gadis berponi sealis itu menyandarkan kepalanya ke bahu Gabriel. Tidak tahu jika pemuda yang sudah dianggapnya sebagai saudara itu menahan napas. Entahlah, Gabriel seperti merasakan setruman kecil di tubuhnya. Tidak ada yang salah. Hanya saja cinta telah mengubah semuanya. “Jika memang ini nyatanya, salahkah jika aku minta agar Tuhan memberi mimpi yang lebih baik dari realita hidup ku? Aku rela meskipun tidur panjang untuk mimpi yang indah.”
Iel terdiam. Dia tidak tahu jika pujaannya sedang terluka. Kenapa gadis periang itu merahasiakan ini darinya? Sebegitu tidak pentingkah ia dari kehidupan Agni? Perlahan, pelukan Iel merenggang.

 “Jangan lepaskan!” Agni merangkul tangan Gabriel. Mendekatkan tubuhnya kepada pemuda jangkung itu. Dia tidak tahu apa yang sedang dilakukannya. Tapi entah mengapa setiap mendengar jantung Gabriel berdetak ada susunan nada harmonis memenuhi gendang telinganya. Dan seketika itu juga, ia dapat memejam mata dengan melupakan beban masalah. “Gue gak yakin jika nanti gue bisa ngejalanin ini semua. Tapi ketahuilah, detak jantung lo buat gue hidup kembali.”

                                               ****

“Ag, bintang itu indah ya..” Iel mengadahkan kepalanya menghadap langit. Tidak tahu kenapa pria itu mendadak menyukai bintang. Tangannya masih setia memetik asal senar gitar tanpa menekan chord mana pun.

“Oh ya? Tapi menurut gue, bulan lebih indah.” Jawab Agni sambil menuangkan teh hangat ke cangkir Iel. Aroma teh hijau menyeruak masuk kedalam paru-parunya, seakan memberikan jalan agar sesak di dadanya hilang. Gadis itu melongok melihat langit yang sepenuhnya telah berubah menjadi kelam. Ia melirik Iel yang ikut-ikutan menatap bulan yang sama. Agni tersenyum.

“Bagusan juga bintang kemana-mana Ag. Bintang itu kaya permata. Bintang juga sulit ditebak, buktinya gak ada yang tau pasti berapa jumlah bintang kan?” Balas Iel dengan bermacam argumennya. Pemuda hitam manis itu menatap dengan teliti wajah Agni saat tersenyum ditambah lagi terpaan angin yang mengenai anak rambut Agni. Tanpa sadar bibir tipisnya ikut melengkung.

“Itulah sebabnya mengapa pria cendrung menilai sesuatu dengan fisik atau berpikir secara logika.” Agni menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Iel. “Memang bintang jauh lebih indah dibandingkan bulan. Tapi perempuan lebih suka sesuatu yang bermakna khias. Saat gue melihat bulan, saat itu juga ada milyaran manusia di dunia memandang buan yang sama. Dan mungkin, diantara milyaran manusia itu, terdapat orang yang gue sayangi. Dengan begitu, bulan akan menyampaikan pesan gue kepada mereka.”

“Jujur, gue gak ngerti Ag.” Iel tertawa, Agni pun ikut tertawa. Wajar saja Iel tiak mengerti. Makna seperti itu tidak mungkin dimengerti otak Iel yang hanya berorientasi pada logika.

Iel memandang ombak. Deburan ombak yang saling berpacu membuatnya damai. Dia tidak tahu mengapa mengajak Agni ke pantai. Tapi, melihat tak banyak manusia yang menyesakkan membuat Iel yakin bahwa pilihannya tidak salah. “Ag, gimana kalau semuanya udah berubah?”

“Maksudnya?”

“Ya.. semuanya udah berubah.” Iel menarik napas dalam, semoga keputusannya kali ini tepat. “Tentang persahabatan kita, tentang semua yang kita lewati, dan juga tentang perasaan ku.”

“Apa maksudnya Iel? Jangan bilang..” Agni mengangkat sebelah alisnya. Ini adalah kalimat paling abstrak yang pernah didengarnya dari mulut Iel.

“Ya kau benar. Aku jatuh cinta pada mu. Tentang segala yang ada dalam diri mu. Mata mu, wajah mu, rambut mu, kepribadian mu, semuanya Ag. Cinta telah menghancurkan segalanya. Jika boleh memilih, aku tidak ingin merasakan perasaan menjijikan ini. Aku hanya ingin menatap mu sebagai sahabat yang akan selalu disamping ku.”

Agni terhenyak. Apa ini maksud dari segala perhatian Iel kepadanya? Jika iya, sungguh ia merasa bodoh sekali. Ia secara tidak langsung telah menyakiti perasaan Iel.

I’d never ask you ‘cause deep down I’m certain I know what you’d say. You’d say, I’m sorry, believe me, I love you but not in that way.

Agni terperangah. Iel memainkan lagu Not in that way-Sam Smith dengan gitarnya. Dia bingung apa yang harus dikatakannya. Yeah Iel, everything has changed. Pengakuan Iel telah merubah segalanya. Agni akui, ia mencintai Iel, tapi bukan begini caranya. Ia tak ingin persahabatan yang mereka jalin hancur hanya karena perasaan menggelikan ini. “I’m sorry..”

“Aku mengerti, memang tidak sepantasnya aku menyimpan perasaan ini.” Iel terseyum. Tangannya meraih tangan Agni dan mengenggamnya. Iel menatap Agni lurus. Perlahan pria itu mulai mendekatkan wajahnya ke arah Agni, dan beberapa detik selanjutnya bibir mereka saling bertautan di tengah deburan ombak pantai, ditengah malam yang dingin, dan tentunya ditengah kehangatan bulan dan bintang.

Agni tersenyum simpul. Wajahnya sedikit kemerahan mengingat ini adalah yang pertama. Oi, siapa sangka bahwa yang merebutnya adalah sahabatnya sendiri, Iel. Iel tersenyum geli dengan apa yang telah dilakukannya. Mau dikatakan apa, semuanya sudah berlalu bukan? “Biar ruang dan waktu yang menjawab.”

Iel meraih gitar yang telah disandarkannya tadi. Pria  itu kembali menekan chord gitar yang sudah susah payah dihapalnya. Bukan perkara gampang, karena dirinya sama sekali tidak mengerti alat musik dan hal yang berbau dengan itu. Tapi biarlah, biarlah demi gadis yang dicintainya ia berlatih. Dan malam itu, Not in thay way milik Sam Smith mengalun indah.

And I hate to say I love you
When it’s so hard for me
And I hate to say I wan’t you
When you make it so clear
You don’t want me
I’d never ask you cause deep down
I’m certai I know what you’d say
You’d say I’m sorry belive me
I love you but not in that way

And I hate to say I need you
I’m so reliant
I’m so dependant
I’m such a fool

Wwhen you’re not there
I find myself singing the blues
Can’t bear
Can’t face the truth

You will never know that feeling
You will never see through these eyes

 I’d never ask you cause deep down
I’m certai I know what you’d say
You’d say I’m sorry belive me
I love you but not in that way

You’d say I’m sorry belive me
I love you but not in that way
(Not in That Way-Sam Smith)


 

Minggu, 13 Desember 2015

Cinta Tanpa Syarat Chapter 3

                                         Cinta Tanpa Syarat Chapter 3
--------------Dilarang Keras Mengcopy Paste----------------





“Siapa dia?”

Ify memutar kepalanya ke segala arah. Bagaimana pria itu bisa tahu jika saat ini ia sedang tidak sendiri? Dari arah mana pria itu membuntutinya? Nihil. Ia bahkan sama sekali tak melihat kejanggalan. Entah karena pria itu sangat pandai menyamar atau dirinya yang terlalu panik.

“Dia.. kekasih ku.” Ify merutuki dirinya sendiri karena terlalu gegabah mengambil keputusan. Bagaimana mungkin ada yang mempercayai Rio adalah kekasihnya. Tapi lebih tidak waras lagi jika dirinya mengatakan Rio adalah seorang polisi. Dia masih ingin melihat adiknya –Sivia- bernyawa.

“Ya dia kekasih ku.” Ify berusaha meyakinkan pria itu yang kalau Ify tidak salah kira adalah Mathin.

Dari kejauhan Rio memandang Ify bingung. Seolah-olah gadis cantik itu adalah objek yang aneh. Berputar-putar di keramaian tepatnya di depan kantor Ify sendiri, bukankah itu hal yang abnormal?

Ify kehilangan akal dan kembali mengambil keputusan yang salah. Dengan tak berdosa gadis cantik itu menarik tangan Rio dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Rio, tentunya tanpa mempedulikan apa yang sedang dipikirkan Rio tentang dirinya.

CUP!!

Ini memang bukan yang pertama bagi mereka maing-masing untuk berciuman. Hanya saja, ini adalah yang pertama kalinya mereka berciuman dengan lawan jenis yang bahkan belum mereka kenal tiga hari.

Ify meneguk ludah dalam. Apa yang telah dilakukannya? Lupakan masalah Mathin yang sudah memutus sambungan teleponnya setengah menit yang lalu! Sekarang, apa yang harus dijelaskannya pada pria yang tampaknya sedang menahan napas?

Betul. Rio menahan napas. Tampaknya menunjukkan ekspresi kaget pada wanita sombong dihadapannya lebih penting dari pada menghirup oksigen. Ify Denizer, gadis cantik dari keluarga yang terhormat mencium seorang polisi yang baru dikenalnya di tempat keramaian, apa dia sedang bermimpi?

Ify sadar apa yang telah dilakukannya bukan sesuatu yang sepele. Kesalah pahaman bisa terjadi, mengingat keterkejutan Rio. Gadis berambut pirang itu menarik tangan Rio masuk ke dalam. “Aku berutang kepada mu. Aku tidak akan melupakan ini.” Kata Ify sambil terus menaiki tangga.

“Apa yang terjadi? Kau utang penjelasan kepada ku.” Rio terus mengikuti Ify. Ia tak ingin urusan ini hanya berakhir tanpa penjelasan. Bukannya terayu dengan ciuman gadis itu, hanya saja gerak gerik Ify sangat mencurigakan.

“Hey! Kenapa kau diam saja?”

Ify tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Yang hanya terlintas di benaknya hanya gengsi dan bagaimana terbebas dari Mathin.

“Apa yang kau takut kan? Tampak sekali kau dalam masalah. Jangan keras kepala aku bisa membantu mu.” Kata Rio

Ify berhenti dari segala pergerakannya. Bukan karena kesadaran diri atau sejenisnya, tapi Rio yang telah menahan langkahnya. “Bukan sesuatu yang penting.”

Gadis bermata coklat itu menyerah. Ia kehabisan akal bagaimana cara mengusir Rio dengan cara halus. Ify seperti melihat bayangannya sendiri, kepala batu. “Aku akan jelaskan nanti. Kau masuk saja ke ruangan itu dulu. Minum teh atau semacamnya.” Ify menunjuk sebuah ruangan dengan dagu tirusnya. “Aku akan cuci wajah terlebih dahulu.”
                                            ****
Mathin menatap ponselnya penuh selidik. Ia memperhatikan foto Ify dan Rio berciuman dengan teliti. Sedikit kesal karena gambar yang dihasilkan sangat buram.

“Kau yakin mereka sedang tidak bersandiwara?”

“Sepertinya tidak, Tuan.”
                                               ****
Sensasi sejuk menyelimuti wajah gadis ini saat air kran bersentuhan dengan kulitnya. Meskipun begitu pikiran takut akan keselamatan Sivia terus menghujamnya. Ify mendesah pelan melihat bayangannya di cermin. Wajahnya yang dulu berseri kini tampak pucat karena tekanan yang menghimpit.

Nomor tak dikenal. Ify memicingkan matanya. Seingatnya dia baru saja menyimpan nomor pria itu, tapi kenapa nomor ponselnya berbeda lagi? Apakah dia punya perusahaan kartu ponsel?

“Sudah berapa lama kau berpacaran dengan pria itu?”

Ify tidak menjawab, karena tidak tahu harus berkata apa. Berbohong bukanlah keahliannya.

“Kau harus memutuskan hubungan dengan pria itu! Jika tidak, kau akan mendapat kiriman potongan tubuh Sivia.”
                                              ****
Kristal bening tak kunjung lenyap dari kelopak matanya. Bukan ia yang meminta, tapi tekanan dan kecemasan seakan menghantuinya hingga tanpa disadari butiran halus itu menetes tanpa jeda. Sivia terus menangis tanpa peduli akan maskara yang sudah meluntur. Tak lupa pula jeritan ketakutan yang berdampingan disela-sela tangisnya. Sivia bahkan tak peduli dengan pria yang tampaknya sangat kesal dengan suara lengkingnya. Terlihat jelas karena pria itu menutup kupingnya dengan kedua telapak tangan.

Telinga Sivia dapat menangkap gelombang suara yang tentunya hampir setiap hari didengar. Gadis itu menghentikan tangisannya mencoba memastikan bahwa yang baru saja didengarnya bukanlah khayalan semata. Ponsel yang diletakkan didalam tas nya berbunyi. Secercah harapan bahwa orang terdekatnya mengkhawatirkan dirinya.

Ada masalah lain. Karena yang memiliki gendang telinga tak hanya Sivia, pria anarkis itu juga mendengarnya.

“Bagaimana aku bisa melupakan nya?” Dengan tangkas pria itu mengambil ponsel Sivia dan membantingnya hingga handphone keluaran terbaru itu tidak berfungsi. Kakinya menginjak ponsel tersebut hingga hancur berkeping-keping. Merusak secercah harapan bagi Sivia dan gadis itu kembali menangis.
                                            ****
Ny.Zerin menatap ponselnya tidak percaya. Sudah berjam-jam berlalu, namun kenapa pesawat Sivia belum juga berangkat. Terlihat dari sambungan telepon Sivia yang artinya anak gadisnya masih berada di Istanbul. Wanita paruh baya itu kemabali menekan beberapa digit angka yang sudah dihapalnya di luar kepala.

“Fy, apa semuanya baik-baik saja?” Tanyanya penuh selidik.

“Mmm, maksud Ibu?” Tak mau kalah dengan Ibunya, gadis bermata cokelat itu malah melontarkan pertanyaan.

“Apa pesawat Sivia sudah berangkat?”

“Tentu saja sudah. Kenapa Ibu menanyakan itu?” Jika saja pertahanannya runtuh, mungkin gadis itu sudah menitikkan air mata. Tak ada yang baik. Adiknya bahkan diculik, bagaimana mungkin dia mengatakan semuanya ?

“Lalu kenapa Ibu bisa meneleponnya? Itu artinya Sivia ada di Istanbul.” Ny.Zerin mengerutkan keningnya sehingga menghasilkan lipatan-lipatan kasar.

Ify menggigit bibir bawahnya. Sekarang, bagaimana cara menjelaskan kepada Ibunya. Apakah dirinya harus berbohong –lagi- ? “Ibu jangan cemas. Ponsel Sivia tertinggal di bandara.”

“Hhh. Anak itu memang ceroboh.” Ny.Zerin bernapas lega bahwa tak ada hal buruk yang terjadi pada anaknya. “Fy, tolong ingatkan kepada Sivia agar ia membeli ponsel yang baru?!”

“Baik bu.”

Itulah alasan dilarangnya berbohong. Dari satu kebohongan kecil akan bercabang hingga diri mu sendiri dililit berjuta kebohongan. Hingga kau lupa dimulai dari mana untuk mengatakan kejujuran.
                                              ****
Ify menyeka titik air yang meluap dari kelopak matanya tanpa permisi. Ia melangkahkan kakinya menuju sebuah toko tanpa memperhatikan para penjaga toko yang tampak heran dengan mata sembabnya. Ify mengambil sebuah bungkusan yang didalamnya adalah obat penenang dikala kekacauan melanda dirinya. Apalagi kalau bukan sebatang coklat. Memakan makanan yang manis, begitulah cara gadis itu meredam kesedihannya.

“Nona, kembalian mu!” Ucap penjaga toko sambil berteriak. Bukannya menolak rezeki, tapi rezeki yang diberikan sangatlah banyak untuk sebatang coklat.

“Ambil saja!”

Ify terus melangkahkan kakinya sambil mengunyah cokelat yang baru saja dibelinya.  Telinganya seakan tuli sementara karena terlalu antusias memakan cokelat. Tanpa terasa, Ify sudah berada di depan tokonya. Ify teringat bagaimana ayahnya yang telah tiada mengajaknya ke tempat itu.
                                           ****
Pria jangkung itu tak kunjung menghentikan langkahnya. Sudah berapa lama ia berputar-putar tanpa arah. Bukan karena tersesat atau semacamnya, hanya saja begitulah caranya menunggu seseorang yang juga tak menampakkan batang hidungnya.

Rio menggeram kesal. Pasti gadis itu telah membohonginya. Hal ini kian mempererat kecurigaan Rio. Jika tak ada apa-apa kenapa wanita itu menghindarinya?

Rio keluar dari ruangan dan mendapati Shilla yang memandangnya penuh selidik. “Dimana Nona Ify?” Rio tidak peduli apa yang ada di pikiran gadis cantik di hadapannya.

“Mmm ada apa?”

“Tidak usah banyak tanya!”

“Semua terserah pada mu. Aku akan beri tahu dimana Ify, jika kau mengatakan ada urusan apa kau dengannya?”

Rio mengepal tangannya. Kenapa hari ini begitu menyebalkan? “Jika kau tak ingin memberi tahu. Aku akan cari tahu sendiri.” Jawab pemuda hitam manis itu dingin.
                                             ****
“Apa kalian sudah menemukan perkembangan?”

“Belum pak.” Keluh Agni sambil menggigit bibir bawahnya. Tampak sekali gadis berlesung pipi itu kelelahan. Tangannya tak henti mengobrak-abrik berkas.

“Jangan sampai pembunuhnya lepas dari pengawasan kita!” Kepala polisi itu menatap tajam pada Obiet yang tampaknya sedikit canggung. Tentu saja pria itu canggung. Ia sudah dikeluarkan dari kasus ini.

“Kau keluar dari ruangan! Aku tidak ingin kau memberi tahu hasil rapat kepada saudara mu, Rio.”
                                               ****
Ify berjalan menurun menyusuri tangga. Gadis itu mulai mencari-cari sesuatu, berharap agar ia dapat menemukan berliannya. Pada saat yang bersamaan, Rio muncul dihadapannya. Ify terperangah, terlebih kini Rio tidak sedang sendirian. Ada 2 orang yang mengikutinya di belakang. Bagaimana dia bisa tahu?

“Aku tahu kau sedang dalam masalah.” Rio memulai pembicaraannya. Nada bicaranya sedikit melembut.

“Mereka Cakka dan Agni.” Rio menunjuk kedua sahabatnya. “Mereka juga polisi. Kami semua akan membantu mu.”

Cakka dan Agni tersenyum. Ada sedikit keraguan dari diri mereka masing-masing. Dan tentunya kebingungan dengan apa yang telah terjadi antara Rio dan Ify.

Ify menatap 3 insan yang ada dihadapannya. Ingin sekali gadis itu menceritakan apa yang telah terjadi pada dirinya. Penculikan Sivia, peneroran dirinya, dan tentunya juga kematian Ayah. Dan sekali lagi, lidahnya kelu. Ify teringat akan ancaman Mathin agar ia tak memberi tahu siapa pun. Lagi pula ada 3 polisi disini.

“Apa kau berpikir seperti itu setelah aku mencium mu?” Tanya Ify.
Cakka dan Agni saling berpandangan. Mereka mengernyitkan dahi meminta kepastian.

“Ada seseorang yang begitu terobsesi kepada ku. Dia mengikuti ku. Kemudian aku mengambil seseorang dan menciumnya.” Jelas Ify.

“Jadi kau lari dari pacar mu?” Tanya Rio tetap dengan pandangan tidak percaya. Namun, gadis itu mengangguk pasti.

Rio, Cakka, dan Agni beranjak pergi meninggalkan toko. Mereka memilih makan di warung kaki lima dekat toko Ify. Terlihat jelas bahwa Rio masih tidak puas dengan penjelasan Ify.

“Kenapa tidak?” Tanya Cakka yang sangat mengerti kegelisahan Rio. “Dia orang kaya dan kau pria yang tampan. Ciuman bukan lah hal yang penting untuk nya.” Lanjut Cakka.

“Ya Tuhan..” Rio memegang dahinya. Tidak percaya bagaimana mungkin sesingkat itu jalan pikiran Cakka. “Ayahnya baru saja meninggal. Apa itu sesuatu yang wajar?”

Agni mengambil ponselnya dan mulai menelusuri internet. Gadis itu menemukan wawancara Ify setengah bulan yang lalu. “Ify Denizer, Designer berlian.” Agni membaca judul wawancara tersebut. Matanya bergerak lincah mencari informasih yang berkaitan dengan kisah asmara Ify.

 “Ify Denizer, apa kah kau memiliki kekasih? Tidak, sudah 1 tahun aku tidak memiliki kekasih.” Ucapan Agni membuat Rio tersenyum bangga.

“Tidak berarti kita harus menginvestigasi dia kan?” Tanya Cakka yang masih bersikeras.

“Ada seseorang yang berusaha menutup kasus ini secepatnya. Sejak dia mencium ku hari ini, aku yakin ada sesuatu yang dia sembunyikan dan aku akan mengetahuinya.” Kata Rio lalu pergi setelah melihat Ify keluar dari tokonya.
                                              ****
Ify menekan bel. Dia tidak yakin dengan apa yang sedang dilakukannya saat ini, namun apa salahnya mencoba? Pintu terbuka dan gadis berdagu lancip itu mendapati seorang wanita paruh baya yang menatapnya heran.
“Aku teman sekolahnya Acha.” Jawab Ify.

“Ah.. kau temannya Acha ternyata. Kami sudah mengirim undangan ke sekolahnya, namun tidak ada yang datang. Syukurlah kau hadir nak.” Jawab Bu Fatma sambil mempersilahkan Ify masuk.

Ify mengikuti pengajian kematian Acha. Adik Acha menangis dalam pelukan Ify. Ify dapat merasakan betapa terpukulnya gadis yang berada dalam pangkuannya saat ini. Sedangkan Rio menunggu dengan tidak sabar di luar rumah Acha.
                                             ****
Ny.Zerin datang memimpin rapat. Matanya bergerak mencari seseorang, namun orang itu tetap tidak ada. “Dimana Ify?”

“Nona Ify tidak datang, Nyonya.”

Ny.Zerin menghela napas. “Rapat dibatalkan.” Perkataannya mampu membuat beberapa pegawai memaki dalam hati. Bagaimana tidak? Mereka sudah menunggu satu jam dan rapat dibatalkan. Sungguh, hal yang sangat menyebalkan.

“Shilla, dimana Ify?”
Shilla menggelang pelan. Dia memang tidak tahu dimana keberadaan gadis itu saat ini.

“Perempuan itu masih perawan.” Ucap Ny.Zerin teringat dengan berita di koran yang baru saja dibacanya pagi ini. “Aku ingin mengadakan jumpa pers untuk membersihkan nama suami ku.”
                                             ****
Ify memutar knop pintu. Ia masuk ke kamar Acha tentunya tanpa izin siapa pun. Kedua telaga beningnya menangkap sebuah kotak. Sebuah kotak yang sama seperti milik ayahnya. Gadis itu mengambil kotak tersebut dan memasukkannya ke dalam tas sandang yang dikenakanya dan membawanya keluar.

Ify membuka kotak itu dan berharap agar berlian yang dicarinya ada di sana. Namun ia kalah cepat dengan Rio yang sudah merebut kotaknya.

“Saat aku menunjukkan berlian di tangan ku, kau sama sekali tidak tertarik. Kau bahkan lebik tertarik dengan kotak ini.” Kata Rio sambil mengamati kotak tersebut. “Karena kau tahu, jika berlian itu palsu. Kau ahlinya kan?” Tanya Rio. Ify mengetatkan rahangnya agar rasa kesal bercampur gugup yang melandanya dapat hilang.

Rio membawa kotak itu dan berlalu pergi dengan mobilnya.Ia melirik kaca spionnya dan mendapati Ify mengikutinya. Rio menambah laju mobilnya dan tersenyum saat Ify mengambil lajur yang berbeda dengannya. Ia tidak menyangka jika Ify punya jurus jitu sehingga mobilnya menghadang mobil Ro. Rio terpaksa menarik hand remnya dengan keras agar mobilnya tidak menabrak mobil Ify. Rio terperangah melihat kenekatan Ify.

Ify turun dari mobil dan mendatangi Rio. “Buka jendelanya dan aku akan mengatakan apa yang aku cari.” Kata Ify.

Io turun dan tetap memegang kotak itu seakan-akan takut kehilangan benda berbentuk balok tersebut. “Kau melakukan adegan yang sangat berbahaya. Kau yang paling putus asa. Maka katakan pada ku terlebih dahulu.” Kata Rio.

“Aku mengetahui jika ayah ku menyembunyikan berlian dan aku harus menemukannya segera.” Jawab Ify yang berusaha menahan kemarahan.

“Apakah kematian ayah mu ada hubungannya dengan kotak ini?”

“Dengar! Kami bangkrut, ada beberapa orang datang untuk menagih hutang. Kau mengerti?!” Kata Ify sambil merebut kotak itu dari tangan Rio.

“Biar aku yang buka!” Kata Rio yang masih tidak mau merelakan kotak tersebut.

Ify menghela napas panjang, “Hanya aku yang bisa membuka kotak itu.”

“Benarkah?” Tanya Rio sambil memicingkan mata. Rio menyerahkan kotak tersebut, “Aku mau kau membukanya di depan ku.”

Ify membuka gelang yang di kenakannya di tangan kanan, kemudian menempelkan gelang tersebut ke kotak berwana cokelat itu. Kotak iu terbuka. Tapi tidak ada apa pun disana. Gadis itu mengguncang dengan kuat namun sekali lagi tidak ada apa pun disana.

“Untuk apa ayah mu membuat kotak-kotak seperti itu?” Tanya Rio sebelum Ify membanting kotak tersebut.

“Untuk membuat orang lain bahagia. Di dalamnya sering terdapat permen, mainan dan hadiah-hadiah lainnya.” Kata Ify sambil tersenyum mengingat kenangannya bersama ayahnya.

Ify masuk ke dalam mobil, namun Rio menutup pintu mobil tersebut dengan keras. “ Aku tidak percaya kepada mu. Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu dan aku tidak pernah salah.”

Ify mendorong Rio, sudah cukup dirinya menahan emosi. “Jangan ikuti aku lagi! Ayah ku meninggal, jiwa ku mati, kau pun berduka. Aku hanya mencoba mengerti. Pergilah dan lampiaskan kepada orang lain.” Kata Ify hampir menangis.

Rio hanya diam melihat gadis itu yang sudah berlalu pergi dengan mobilnya.
                                                 ****
“Aku butuh uang.” Ucap Shilla kepada Debo, manajer keuangan.

“Maaf Shil, tapi tidak bisa. Kondisi perusahaan tidak memungkinkan.”

“Aku mohon sekali ini saja!”

“Ify juga membutuhkan uang dalam jumlah yang sangat besar.”

“Ify?” Tanya Shilla menaikkan alis kirinya.
                                               ****
“Apa aku boleh masuk?” Tanya Shilla meminta izin masuk ke ruang kerja Ify.

“Kenapa kau bertanya seperti itu? Ayo masuk!”

“Aku tahu kau sedang dalam masalah Fy.” Ucap Shilla mengwali pembicaraaan. “Katakan kepada ku. Kita sudah berteman sejak sekolah menengah pertama. Aku mohon jangan ada yang disembunyikan antara kita berdua.”

“Aku tidak bisa mengatakannya.” Ify menggenngam tangan Shilla, berusaha meyakinkan gadis itu bahwa ia tidak ingin menutupi sesuatu dari Shilla. “Jika aku mengatakannya maka masalah juga akan menghampiri mu Shilla.”

“Baiklah.” Shilla tersenyum. “Oh iya. Tadi ada paket untuk mu dan aku meletakkannya di atas meja.” Ucap Shilla yang teringat sesuatu hal.

Tubuh Ify menegang. Pikiran buruk mulai menguasai otaknya. Ia dengan tidak sabar membuka paket itu dan mendapati kalung Sivia dan sebuah pesan, “Saudara mu mengirim ini dan dia mengirim pesan kepada mu agar tidak melupakannya, dia ingin agar kau cepat menemukan berliannya.”

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Kata Ify sambil memegang kepalanya.
Debo masuk ke ruangan Ify. Ia menatap heran pada Ify yang tampaknya sangat putus asa.

“Ada apa?” Tanya Ify.

“Tuan Ahmed menyimpan sesuatu di deposit box.”
                                               ****
Bu Fatma memberi barang-barang milik Acha kepada Rio. Rio mengambil barang tersebut, “ Apakah ada sesuatu yang Ibu sembunyikan atau curigai?”

Bu Fatma mengingat malam dimana anaknya meregang nyawa. Sebenarnya setelah Rio mengantarkan Acha, gadis tersebut keluar dari rumah. Acha berjanji kepadanya bahwa ia hanya pergi selama satu jam saja. Namun, takdir tak dapat ditolak. “Apa kau mulai percaya dengan perkataan orang lain tentang Acha” Tanyanya yang seola-olah tidak tahu apa-apa. “Aku tidak mencurigainya dan seharusnya kau juga begitu.”

Di dalam mobilnya, Rio membuka barang milik Acha. Pemuda hitam manis itu tertawa saat mengingat bagaimana barang tersebut ia berikan kepada Acha. Hatinya kian luluh saat melihat foto Acha di pasport. Dia ingat pasti setiap detik perempuan itu tertawa karena mereka akan pergi ke Italia. Buliran hangat itu kembali menitik.
                                                ****
Kedua telapak kaki Ify tak hentinya mengetuk-ngetukkan ubin. Tampak sekali gadis berleher jenjang itu sedang gelisah. Pikirannya campur aduk. Setidaknya, ada secercah harapan bahwa di dalam deposit box itu terdapat berlian sumber masalah hidupnya.

Ify membuka deposit box itu dengan hati-hati layaknya jika sedikit saja gadis itu ceroboh maka benda tersebut akan rusak. Ny.Zerin yang melihat sikap tegang anaknya pun ikut tegang. Pemandangan pertama kali yang disuguhkan adalah sekumpulan dokumen. Tentu, gadis itu tidak akan menyerah begitu saja. Jarinya mulai mengobrak-abrik isi depoit box tersebut, mana tahu ada berlian yang terselip di dalamnya.

Tidak ada berlian. Namun ada selembar foto yang mungkin lebih mengejutkan dibandingkan jika berlian di dalamnya. Foto Acha, tunangan Rio, gadis yang sedang dibicarakan. Sungguh, foto itu telah menghancurkan kepercayaan Ify terhadap ayahnya.

“Ada apa Fy?”

Ny.zerin melihat foto itu dengan tanpa ekspresi. Tentu dengan perasaan yang jauh lebih kacau dari anaknya.

                                             ****
Seorang pemuda bermata biru terbangun dari tidurnya. Pria itu mengecek ponselnya dan mendapati pesan dari seseorang yang sangat dirindukannya. Dan ternyata pesan tersebut berupa video Sivia.

“Aku akan sekolah ke New York, Ray. Jangan ganggu aku!”

Ray tersenyum sinis. Ke New York? Aku akan menyusul mu Sivia.

                                               ****
Mathin melirik sadis dengan apa yang ada di hadapannya. Seorang mayat yang baru saja terbunuh dan berlumuran darah, tentunya sedikit bau amis. Mathin meneguk ludah dalam dengan apa yang telah dilakukan pamannya, Tayyar.

“Ada apa?” Tanya Tayyar sambil membersihkan wajahnya yang terkena semburan darah dengan tissue. “Aku harap, itu adalah kabar baik.”

“Aku tidak tahu ini kabar baik atau buruk. Namun, Ify punya seorang kekasih.”

“Kekaih? Siapa namanya?

Mathin menggeleng menunjukkan ketidak tahuannya. Memang itu lah nyatanya. Bagaimana mungkin dia tahu, sementara fotonya saja buram.

“Cepat kau cari tahu!”

“Baik Paman!”
                                                  ****
“Aku tidak menemukan berliannya.” Keluh Ify. Gadis cantik itu menatap langit yang berhiaskan bintang. Mata bulatnya mentap penuh kagum pada setiap bintang disana. Ingin sekali gadis itu terbang ke langit dan menjelma menjadi salah satu diantara milyaran bintang.

“Kita lupakan berliannya.” Jawab Mathin dengan tenang.

“Apa maksud mu?” Ify tersedak mendengar penuturan Mathin. Oi, bukankah pria ini yang memaksanya menemukan berlian tersebut?

“Kita buat kesepakatan baru.”

“Apa yang kau inginkan?” Tanya Ify penuh selidik. Penjahat tidak mungkin selembut ini.

“Kau harus mencuci uang kotor kami. Kau pergi ke Roma dan mengirim uang kotor itu melalui rekening mu ke rekening kami.”

Ify mengernyitkan dahinya. Sungguh demi apa pun, gadis bermata cokelat itu tidak mengerti. Tapi ia yakin, apa yang telah diminta Mathin adalah sesuatu yang buruk. “Aku tidak bisa. Ini tidak benar. Aku tak pernah melakukan kejahatan selama hidup ku.”

“Oh ya? Sayangnya, aku dan Ahmed Denizer adalah partner.” Kata Mathin santai tanpa mempedulikan Ify yang benar-benar kalut saat ini. “Aku tidak ingin membuang waktu ku.” Mathin meninggalkan Ify dengan mobilnya.

“Hey! Apa yang akan terjadi kepada Sivia?!” Teriak Ify sambil berusaha mengejar mobil Mathin.

Sebuah video terkirim kepadanya. Gadis itu dengan buru-buru melihat video tersebut dan mendapati bagaimana para mafia tersebut menyiksa Sivia. Ify kembali menangis. Gadis itu lemah dan jatuh terduduk di lantai memandangi adik nya yang menderita di sana. Ingin rasanya ia saja yang disiksa. Kenapa harus Sivia?!

Ponsel Ify berdering. “Kau binatang! Kau binatang! Bagaimana kau bisa melakukan hal sekejam itu?” Tanya Ify sambil berteriak.

“Diam! Kalau kau tidak diam, aku akan merobek tenggorokan adik mu!” Kata Mathin.

Ify berusaha tenang meskipun dadanya naik turun menahan emosi. “Baiklah aku diam. Aku berjanji akan melakukan perintah mu.”

“Bagus. Kamis pagi jam 10. Kau harus sudah berada di bandara. Tunggu perintah selanjutnya.”
                                            ****
“Aku tidak yakin jika Ify bisa melakukannya.” Kata Mathin sambil menatap Ify dibaik jendela mobil.

“Serahkan pada ku. Kita lihat apa dia menutup mulutnya atau tidak.” Kata Tayyar dingin.
                                           ****
“Aku tahu kau keluar dari pekerjaan mu.” Kata Shilla berusaha menenangkan kekasihnya.

Gabriel menghela napas, memang itu lah adanya. Ia di keluarkan dari pekerjaanya dan dia sama sekali tidak tahu harus apa sekarang. “Terima kasih atas segalanya. Aku akan mencari rumah. Sudah hampir satu bulan aku tinggal di sini.”

“Jangan begitu, itu tidak masalah. Asalkan kau tidak bosan kepada ku, aku akan senang.” Jawab Shilla sambil tersenyum.

“Mmm, apa kau sudah memecahkan misteri tentang sahabat mu itu?” Tanya Gabriel yang sepertinya teringat seuatu.

“Ify menyembunyikan sesuatu dari ku. Tapi, aku akan tahu nanti.Aku sangat yakin Ahmed Denizer punya simpanan harta.”

“Sudahlah, ini bukan urusan kita.” Gabriel bingung dengan apa yang ada di pkiran Shilla. Memang apa untungnya mengurusi urusan orang lain?

“Bukan urusan kita?” Tanya Shilla sambil mengangkat sebelah alisnya. “Aku bekerja mati-matian untuk mereka. Aku tahu cepat atau lambat mereka akan melempar ku ke jalan. Tapi tidak akan semudah itu,. Aku tidak akan pergi tanpa membawa apa pun.Aku akan mendapat kan milik ku dan pergi.” Ucap Shilla. Keduanya saling menautkan bibir dalam kedinginan malam.
                                               ****
“Mungkin saja pria itu Ahmed menyukai Acha dan memberinya banyak hadiah. Setelah tahu berlian yang Ahmed berikan palsu, Acha kemudian membunuh Ahmed.”

Sudah satu jam yang lalu, Cakka dan Rio beradu mulut. Cakka masih kekeuh dengan pendapatnya. Rio tak menerima analisa Cakka dan menghadiahi pria berkulit putih itu dengan tamparan. Ujung bibir Cakka menitikkan darah. Ia tak percaya dengan apa yang dilakukan Rio kepadanya. Sementara Agni hanya diam tanpa tahu apa yang harus dilakukan.

Rio pergi dari rumah Agni. Agni mengejarnya dari belakang. “Kau jangan terlalu memikirkan perkataan Cakka.”

Rio membalikkan tubunya. “Kau juga berpikiran sama dengan dia?”

“Aku tidak tahu. Tapi aku setuju dengan pendapat mu, jika kunci dari semuanya adalah Ify.”

Rio tersenyum karena Agni masih mempercayainya. “Terima kasih.”
                                              ****
“Mengapa kau tidak mengatakan hal penting itu kepada ku?” Tanya Ny.Zerin.

Ify meneguk ludah dalam. Kemungkinan besar Ibunya sudah tahu apa yang terjadi pada Sivia, mengingat Paman Tayyar berada di rumahnya.

“Aku berterima kasih atas bantuan mu Tayyar. Sivia tinggal di hotel mu. Kami telah merepotkan mu Tayyar.” Ucap Ny.Zerin dengan wajah cerianya.

“Ah tidak usah berlebihan! Baiklah, aku harus pergi sekarang.”

“Biar aku yang mengantar mu Paman!” Ucap Ify yang berusaha menutupi kekagetannya. Ia mengambil jaket tebalnya dan mengantarkan Paman Tayyar ke luar.

“Ada apa Fy? Apa yang terjadi? Aku tidak bisa berkata di depan Ibu mu. Dimana Sivia? Apakah ada sesuatu yang mencemaskan?” Tanya Tayyar pura-pura tidak tahu.

Ify menghela napas. Ia ingin menceritakan apa yang terjadi namun ia ragu. “Sivia tinggal bersama temannya. Karena Ibu tidak suka pada temannya Sivia maka kami menyembunyikan hal itu. Aku harap paman merahasiakan hal ini.”

“Baiklah.” Tayyar tersenyum.

Tayyar masuk ke dalam mobilnya dan dihadiahi pertanyaan dari Mathin. “Bagaimana paman?”

“Ify lolos tes. Dia akan melakukan pekerjaan kita. Dia gadis dengan kemauan yang kuat.”
                                                      ****


~~~~~~~~~~~~~~~BERSAMBUNG~~~~~~~~~~~~~~~~~