Cinta Tanpa Syarat Chapter 3
--------------Dilarang Keras Mengcopy Paste----------------
“Siapa dia?”
Ify memutar kepalanya ke segala
arah. Bagaimana pria itu bisa tahu jika saat ini ia sedang tidak sendiri? Dari
arah mana pria itu membuntutinya? Nihil. Ia bahkan sama sekali tak melihat
kejanggalan. Entah karena pria itu sangat pandai menyamar atau dirinya yang
terlalu panik.
“Dia.. kekasih ku.” Ify merutuki
dirinya sendiri karena terlalu gegabah mengambil keputusan. Bagaimana mungkin
ada yang mempercayai Rio adalah kekasihnya. Tapi lebih tidak waras lagi jika
dirinya mengatakan Rio adalah seorang polisi. Dia masih ingin melihat adiknya
–Sivia- bernyawa.
“Ya dia kekasih ku.” Ify berusaha
meyakinkan pria itu yang kalau Ify tidak salah kira adalah Mathin.
Dari kejauhan Rio memandang Ify
bingung. Seolah-olah gadis cantik itu adalah objek yang aneh. Berputar-putar di
keramaian tepatnya di depan kantor Ify sendiri, bukankah itu hal yang abnormal?
Ify kehilangan akal dan kembali
mengambil keputusan yang salah. Dengan tak berdosa gadis cantik itu menarik
tangan Rio dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Rio, tentunya tanpa
mempedulikan apa yang sedang dipikirkan Rio tentang dirinya.
CUP!!
Ini memang bukan yang pertama
bagi mereka maing-masing untuk berciuman. Hanya saja, ini adalah yang pertama
kalinya mereka berciuman dengan lawan jenis yang bahkan belum mereka kenal tiga
hari.
Ify meneguk ludah dalam. Apa yang
telah dilakukannya? Lupakan masalah Mathin yang sudah memutus sambungan
teleponnya setengah menit yang lalu! Sekarang, apa yang harus dijelaskannya
pada pria yang tampaknya sedang menahan napas?
Betul. Rio menahan napas.
Tampaknya menunjukkan ekspresi kaget pada wanita sombong dihadapannya lebih
penting dari pada menghirup oksigen. Ify Denizer, gadis cantik dari keluarga
yang terhormat mencium seorang polisi yang baru dikenalnya di tempat keramaian,
apa dia sedang bermimpi?
Ify sadar apa yang telah
dilakukannya bukan sesuatu yang sepele. Kesalah pahaman bisa terjadi, mengingat
keterkejutan Rio. Gadis berambut pirang itu menarik tangan Rio masuk ke dalam.
“Aku berutang kepada mu. Aku tidak akan melupakan ini.” Kata Ify sambil terus
menaiki tangga.
“Apa yang terjadi? Kau utang
penjelasan kepada ku.” Rio terus mengikuti Ify. Ia tak ingin urusan ini hanya
berakhir tanpa penjelasan. Bukannya terayu dengan ciuman gadis itu, hanya saja
gerak gerik Ify sangat mencurigakan.
“Hey! Kenapa kau diam saja?”
Ify tidak tahu bagaimana
menjelaskannya. Yang hanya terlintas di benaknya hanya gengsi dan bagaimana
terbebas dari Mathin.
“Apa yang kau takut kan? Tampak
sekali kau dalam masalah. Jangan keras kepala aku bisa membantu mu.” Kata Rio
Ify berhenti dari segala
pergerakannya. Bukan karena kesadaran diri atau sejenisnya, tapi Rio yang telah
menahan langkahnya. “Bukan sesuatu yang penting.”
Gadis bermata coklat itu
menyerah. Ia kehabisan akal bagaimana cara mengusir Rio dengan cara halus. Ify
seperti melihat bayangannya sendiri, kepala batu. “Aku akan jelaskan nanti. Kau
masuk saja ke ruangan itu dulu. Minum teh atau semacamnya.” Ify menunjuk sebuah
ruangan dengan dagu tirusnya. “Aku akan cuci wajah terlebih dahulu.”
****
Mathin menatap ponselnya penuh
selidik. Ia memperhatikan foto Ify dan Rio berciuman dengan teliti. Sedikit
kesal karena gambar yang dihasilkan sangat buram.
“Kau yakin mereka sedang tidak
bersandiwara?”
“Sepertinya tidak, Tuan.”
****
Sensasi sejuk menyelimuti wajah
gadis ini saat air kran bersentuhan dengan kulitnya. Meskipun begitu pikiran
takut akan keselamatan Sivia terus menghujamnya. Ify mendesah pelan melihat
bayangannya di cermin. Wajahnya yang dulu berseri kini tampak pucat karena
tekanan yang menghimpit.
Nomor tak dikenal. Ify
memicingkan matanya. Seingatnya dia baru saja menyimpan nomor pria itu, tapi
kenapa nomor ponselnya berbeda lagi? Apakah dia punya perusahaan kartu ponsel?
“Sudah berapa lama kau berpacaran
dengan pria itu?”
Ify tidak menjawab, karena tidak
tahu harus berkata apa. Berbohong bukanlah keahliannya.
“Kau harus memutuskan hubungan
dengan pria itu! Jika tidak, kau akan mendapat kiriman potongan tubuh Sivia.”
****
Kristal bening tak kunjung lenyap
dari kelopak matanya. Bukan ia yang meminta, tapi tekanan dan kecemasan seakan
menghantuinya hingga tanpa disadari butiran halus itu menetes tanpa jeda. Sivia
terus menangis tanpa peduli akan maskara yang sudah meluntur. Tak lupa pula
jeritan ketakutan yang berdampingan disela-sela tangisnya. Sivia bahkan tak
peduli dengan pria yang tampaknya sangat kesal dengan suara lengkingnya.
Terlihat jelas karena pria itu menutup kupingnya dengan kedua telapak tangan.
Telinga Sivia dapat menangkap
gelombang suara yang tentunya hampir setiap hari didengar. Gadis itu
menghentikan tangisannya mencoba memastikan bahwa yang baru saja didengarnya
bukanlah khayalan semata. Ponsel yang diletakkan didalam tas nya berbunyi.
Secercah harapan bahwa orang terdekatnya mengkhawatirkan dirinya.
Ada masalah lain. Karena yang
memiliki gendang telinga tak hanya Sivia, pria anarkis itu juga mendengarnya.
“Bagaimana aku bisa melupakan
nya?” Dengan tangkas pria itu mengambil ponsel Sivia dan membantingnya hingga
handphone keluaran terbaru itu tidak berfungsi. Kakinya menginjak ponsel
tersebut hingga hancur berkeping-keping. Merusak secercah harapan bagi Sivia
dan gadis itu kembali menangis.
****
Ny.Zerin menatap ponselnya tidak
percaya. Sudah berjam-jam berlalu, namun kenapa pesawat Sivia belum juga
berangkat. Terlihat dari sambungan telepon Sivia yang artinya anak gadisnya
masih berada di Istanbul. Wanita paruh baya itu kemabali menekan beberapa digit
angka yang sudah dihapalnya di luar kepala.
“Fy, apa semuanya baik-baik
saja?” Tanyanya penuh selidik.
“Mmm, maksud Ibu?” Tak mau kalah
dengan Ibunya, gadis bermata cokelat itu malah melontarkan pertanyaan.
“Apa pesawat Sivia sudah
berangkat?”
“Tentu saja sudah. Kenapa Ibu
menanyakan itu?” Jika saja pertahanannya runtuh, mungkin gadis itu sudah
menitikkan air mata. Tak ada yang baik. Adiknya bahkan diculik, bagaimana
mungkin dia mengatakan semuanya ?
“Lalu kenapa Ibu bisa
meneleponnya? Itu artinya Sivia ada di Istanbul.” Ny.Zerin mengerutkan
keningnya sehingga menghasilkan lipatan-lipatan kasar.
Ify menggigit bibir bawahnya.
Sekarang, bagaimana cara menjelaskan kepada Ibunya. Apakah dirinya harus
berbohong –lagi- ? “Ibu jangan cemas. Ponsel Sivia tertinggal di bandara.”
“Hhh. Anak itu memang ceroboh.”
Ny.Zerin bernapas lega bahwa tak ada hal buruk yang terjadi pada anaknya. “Fy,
tolong ingatkan kepada Sivia agar ia membeli ponsel yang baru?!”
“Baik bu.”
Itulah alasan dilarangnya
berbohong. Dari satu kebohongan kecil akan bercabang hingga diri mu sendiri
dililit berjuta kebohongan. Hingga kau lupa dimulai dari mana untuk mengatakan
kejujuran.
****
Ify menyeka titik air yang meluap
dari kelopak matanya tanpa permisi. Ia melangkahkan kakinya menuju sebuah toko
tanpa memperhatikan para penjaga toko yang tampak heran dengan mata sembabnya.
Ify mengambil sebuah bungkusan yang didalamnya adalah obat penenang dikala
kekacauan melanda dirinya. Apalagi kalau bukan sebatang coklat. Memakan makanan
yang manis, begitulah cara gadis itu meredam kesedihannya.
“Nona, kembalian mu!” Ucap
penjaga toko sambil berteriak. Bukannya menolak rezeki, tapi rezeki yang
diberikan sangatlah banyak untuk sebatang coklat.
“Ambil saja!”
Ify terus melangkahkan kakinya
sambil mengunyah cokelat yang baru saja dibelinya. Telinganya seakan tuli sementara karena
terlalu antusias memakan cokelat. Tanpa terasa, Ify sudah berada di depan
tokonya. Ify teringat bagaimana ayahnya yang telah tiada mengajaknya ke tempat
itu.
****
Pria jangkung itu tak kunjung
menghentikan langkahnya. Sudah berapa lama ia berputar-putar tanpa arah. Bukan
karena tersesat atau semacamnya, hanya saja begitulah caranya menunggu
seseorang yang juga tak menampakkan batang hidungnya.
Rio menggeram kesal. Pasti gadis
itu telah membohonginya. Hal ini kian mempererat kecurigaan Rio. Jika tak ada
apa-apa kenapa wanita itu menghindarinya?
Rio keluar dari ruangan dan
mendapati Shilla yang memandangnya penuh selidik. “Dimana Nona Ify?” Rio tidak
peduli apa yang ada di pikiran gadis cantik di hadapannya.
“Mmm ada apa?”
“Tidak usah banyak tanya!”
“Semua terserah pada mu. Aku akan
beri tahu dimana Ify, jika kau mengatakan ada urusan apa kau dengannya?”
Rio mengepal tangannya. Kenapa
hari ini begitu menyebalkan? “Jika kau tak ingin memberi tahu. Aku akan cari
tahu sendiri.” Jawab pemuda hitam manis itu dingin.
****
“Apa kalian sudah menemukan
perkembangan?”
“Belum pak.” Keluh Agni sambil
menggigit bibir bawahnya. Tampak sekali gadis berlesung pipi itu kelelahan. Tangannya
tak henti mengobrak-abrik berkas.
“Jangan sampai pembunuhnya lepas
dari pengawasan kita!” Kepala polisi itu menatap tajam pada Obiet yang
tampaknya sedikit canggung. Tentu saja pria itu canggung. Ia sudah dikeluarkan
dari kasus ini.
“Kau keluar dari ruangan! Aku
tidak ingin kau memberi tahu hasil rapat kepada saudara mu, Rio.”
****
Ify berjalan menurun menyusuri
tangga. Gadis itu mulai mencari-cari sesuatu, berharap agar ia dapat menemukan
berliannya. Pada saat yang bersamaan, Rio muncul dihadapannya. Ify terperangah,
terlebih kini Rio tidak sedang sendirian. Ada 2 orang yang mengikutinya di
belakang. Bagaimana dia bisa tahu?
“Aku tahu kau sedang dalam
masalah.” Rio memulai pembicaraannya. Nada bicaranya sedikit melembut.
“Mereka Cakka dan Agni.” Rio menunjuk
kedua sahabatnya. “Mereka juga polisi. Kami semua akan membantu mu.”
Cakka dan Agni tersenyum. Ada
sedikit keraguan dari diri mereka masing-masing. Dan tentunya kebingungan
dengan apa yang telah terjadi antara Rio dan Ify.
Ify menatap 3 insan yang ada
dihadapannya. Ingin sekali gadis itu menceritakan apa yang telah terjadi pada
dirinya. Penculikan Sivia, peneroran dirinya, dan tentunya juga kematian Ayah.
Dan sekali lagi, lidahnya kelu. Ify teringat akan ancaman Mathin agar ia tak
memberi tahu siapa pun. Lagi pula ada 3 polisi disini.
“Apa kau berpikir seperti itu
setelah aku mencium mu?” Tanya Ify.
Cakka dan Agni saling
berpandangan. Mereka mengernyitkan dahi meminta kepastian.
“Ada seseorang yang begitu
terobsesi kepada ku. Dia mengikuti ku. Kemudian aku mengambil seseorang dan
menciumnya.” Jelas Ify.
“Jadi kau lari dari pacar mu?”
Tanya Rio tetap dengan pandangan tidak percaya. Namun, gadis itu mengangguk
pasti.
Rio, Cakka, dan Agni beranjak
pergi meninggalkan toko. Mereka memilih makan di warung kaki lima dekat toko
Ify. Terlihat jelas bahwa Rio masih tidak puas dengan penjelasan Ify.
“Kenapa tidak?” Tanya Cakka yang
sangat mengerti kegelisahan Rio. “Dia orang kaya dan kau pria yang tampan.
Ciuman bukan lah hal yang penting untuk nya.” Lanjut Cakka.
“Ya Tuhan..” Rio memegang
dahinya. Tidak percaya bagaimana mungkin sesingkat itu jalan pikiran Cakka.
“Ayahnya baru saja meninggal. Apa itu sesuatu yang wajar?”
Agni mengambil ponselnya dan
mulai menelusuri internet. Gadis itu menemukan wawancara Ify setengah bulan
yang lalu. “Ify Denizer, Designer berlian.” Agni membaca judul wawancara
tersebut. Matanya bergerak lincah mencari informasih yang berkaitan dengan
kisah asmara Ify.
“Ify Denizer, apa kah kau memiliki kekasih?
Tidak, sudah 1 tahun aku tidak memiliki kekasih.” Ucapan Agni membuat Rio
tersenyum bangga.
“Tidak berarti kita harus
menginvestigasi dia kan?” Tanya Cakka yang masih bersikeras.
“Ada seseorang yang berusaha
menutup kasus ini secepatnya. Sejak dia mencium ku hari ini, aku yakin ada
sesuatu yang dia sembunyikan dan aku akan mengetahuinya.” Kata Rio lalu pergi
setelah melihat Ify keluar dari tokonya.
****
Ify menekan bel. Dia tidak yakin
dengan apa yang sedang dilakukannya saat ini, namun apa salahnya mencoba? Pintu
terbuka dan gadis berdagu lancip itu mendapati seorang wanita paruh baya yang
menatapnya heran.
“Aku teman sekolahnya Acha.”
Jawab Ify.
“Ah.. kau temannya Acha ternyata.
Kami sudah mengirim undangan ke sekolahnya, namun tidak ada yang datang.
Syukurlah kau hadir nak.” Jawab Bu Fatma sambil mempersilahkan Ify masuk.
Ify mengikuti pengajian kematian
Acha. Adik Acha menangis dalam pelukan Ify. Ify dapat merasakan betapa
terpukulnya gadis yang berada dalam pangkuannya saat ini. Sedangkan Rio
menunggu dengan tidak sabar di luar rumah Acha.
****
Ny.Zerin datang memimpin rapat.
Matanya bergerak mencari seseorang, namun orang itu tetap tidak ada. “Dimana
Ify?”
“Nona Ify tidak datang, Nyonya.”
Ny.Zerin menghela napas. “Rapat
dibatalkan.” Perkataannya mampu membuat beberapa pegawai memaki dalam hati.
Bagaimana tidak? Mereka sudah menunggu satu jam dan rapat dibatalkan. Sungguh,
hal yang sangat menyebalkan.
“Shilla, dimana Ify?”
Shilla menggelang pelan. Dia
memang tidak tahu dimana keberadaan gadis itu saat ini.
“Perempuan itu masih perawan.”
Ucap Ny.Zerin teringat dengan berita di koran yang baru saja dibacanya pagi
ini. “Aku ingin mengadakan jumpa pers untuk membersihkan nama suami ku.”
****
Ify memutar knop pintu. Ia masuk
ke kamar Acha tentunya tanpa izin siapa pun. Kedua telaga beningnya menangkap
sebuah kotak. Sebuah kotak yang sama seperti milik ayahnya. Gadis itu mengambil
kotak tersebut dan memasukkannya ke dalam tas sandang yang dikenakanya dan
membawanya keluar.
Ify membuka kotak itu dan
berharap agar berlian yang dicarinya ada di sana. Namun ia kalah cepat dengan
Rio yang sudah merebut kotaknya.
“Saat aku menunjukkan berlian di
tangan ku, kau sama sekali tidak tertarik. Kau bahkan lebik tertarik dengan
kotak ini.” Kata Rio sambil mengamati kotak tersebut. “Karena kau tahu, jika
berlian itu palsu. Kau ahlinya kan?” Tanya Rio. Ify mengetatkan rahangnya agar
rasa kesal bercampur gugup yang melandanya dapat hilang.
Rio membawa kotak itu dan berlalu
pergi dengan mobilnya.Ia melirik kaca spionnya dan mendapati Ify mengikutinya.
Rio menambah laju mobilnya dan tersenyum saat Ify mengambil lajur yang berbeda
dengannya. Ia tidak menyangka jika Ify punya jurus jitu sehingga mobilnya
menghadang mobil Ro. Rio terpaksa menarik hand remnya dengan keras agar
mobilnya tidak menabrak mobil Ify. Rio terperangah melihat kenekatan Ify.
Ify turun dari mobil dan
mendatangi Rio. “Buka jendelanya dan aku akan mengatakan apa yang aku cari.”
Kata Ify.
Io turun dan tetap memegang kotak
itu seakan-akan takut kehilangan benda berbentuk balok tersebut. “Kau melakukan
adegan yang sangat berbahaya. Kau yang paling putus asa. Maka katakan pada ku
terlebih dahulu.” Kata Rio.
“Aku mengetahui jika ayah ku
menyembunyikan berlian dan aku harus menemukannya segera.” Jawab Ify yang
berusaha menahan kemarahan.
“Apakah kematian ayah mu ada
hubungannya dengan kotak ini?”
“Dengar! Kami bangkrut, ada
beberapa orang datang untuk menagih hutang. Kau mengerti?!” Kata Ify sambil
merebut kotak itu dari tangan Rio.
“Biar aku yang buka!” Kata Rio
yang masih tidak mau merelakan kotak tersebut.
Ify menghela napas panjang,
“Hanya aku yang bisa membuka kotak itu.”
“Benarkah?” Tanya Rio sambil
memicingkan mata. Rio menyerahkan kotak tersebut, “Aku mau kau membukanya di
depan ku.”
Ify membuka gelang yang di
kenakannya di tangan kanan, kemudian menempelkan gelang tersebut ke kotak
berwana cokelat itu. Kotak iu terbuka. Tapi tidak ada apa pun disana. Gadis itu
mengguncang dengan kuat namun sekali lagi tidak ada apa pun disana.
“Untuk apa ayah mu membuat
kotak-kotak seperti itu?” Tanya Rio sebelum Ify membanting kotak tersebut.
“Untuk membuat orang lain
bahagia. Di dalamnya sering terdapat permen, mainan dan hadiah-hadiah lainnya.”
Kata Ify sambil tersenyum mengingat kenangannya bersama ayahnya.
Ify masuk ke dalam mobil, namun
Rio menutup pintu mobil tersebut dengan keras. “ Aku tidak percaya kepada mu. Aku
tahu kau menyembunyikan sesuatu dan aku tidak pernah salah.”
Ify mendorong Rio, sudah cukup
dirinya menahan emosi. “Jangan ikuti aku lagi! Ayah ku meninggal, jiwa ku mati,
kau pun berduka. Aku hanya mencoba mengerti. Pergilah dan lampiaskan kepada
orang lain.” Kata Ify hampir menangis.
Rio hanya diam melihat gadis itu
yang sudah berlalu pergi dengan mobilnya.
****
“Aku butuh uang.” Ucap Shilla
kepada Debo, manajer keuangan.
“Maaf Shil, tapi tidak bisa.
Kondisi perusahaan tidak memungkinkan.”
“Aku mohon sekali ini saja!”
“Ify juga membutuhkan uang dalam
jumlah yang sangat besar.”
“Ify?” Tanya Shilla menaikkan
alis kirinya.
****
“Apa aku boleh masuk?” Tanya
Shilla meminta izin masuk ke ruang kerja Ify.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?
Ayo masuk!”
“Aku tahu kau sedang dalam
masalah Fy.” Ucap Shilla mengwali pembicaraaan. “Katakan kepada ku. Kita sudah
berteman sejak sekolah menengah pertama. Aku mohon jangan ada yang
disembunyikan antara kita berdua.”
“Aku tidak bisa mengatakannya.”
Ify menggenngam tangan Shilla, berusaha meyakinkan gadis itu bahwa ia tidak
ingin menutupi sesuatu dari Shilla. “Jika aku mengatakannya maka masalah juga
akan menghampiri mu Shilla.”
“Baiklah.” Shilla tersenyum. “Oh
iya. Tadi ada paket untuk mu dan aku meletakkannya di atas meja.” Ucap Shilla
yang teringat sesuatu hal.
Tubuh Ify menegang. Pikiran buruk
mulai menguasai otaknya. Ia dengan tidak sabar membuka paket itu dan mendapati
kalung Sivia dan sebuah pesan, “Saudara mu mengirim ini dan dia mengirim pesan
kepada mu agar tidak melupakannya, dia ingin agar kau cepat menemukan
berliannya.”
“Apa yang harus aku lakukan
sekarang?” Kata Ify sambil memegang kepalanya.
Debo masuk ke ruangan Ify. Ia
menatap heran pada Ify yang tampaknya sangat putus asa.
“Ada apa?” Tanya Ify.
“Tuan Ahmed menyimpan sesuatu di
deposit box.”
****
Bu Fatma memberi barang-barang
milik Acha kepada Rio. Rio mengambil barang tersebut, “ Apakah ada sesuatu yang
Ibu sembunyikan atau curigai?”
Bu Fatma mengingat malam dimana
anaknya meregang nyawa. Sebenarnya setelah Rio mengantarkan Acha, gadis
tersebut keluar dari rumah. Acha berjanji kepadanya bahwa ia hanya pergi selama
satu jam saja. Namun, takdir tak dapat ditolak. “Apa kau mulai percaya dengan
perkataan orang lain tentang Acha” Tanyanya yang seola-olah tidak tahu apa-apa.
“Aku tidak mencurigainya dan seharusnya kau juga begitu.”
Di dalam mobilnya, Rio membuka
barang milik Acha. Pemuda hitam manis itu tertawa saat mengingat bagaimana
barang tersebut ia berikan kepada Acha. Hatinya kian luluh saat melihat foto
Acha di pasport. Dia ingat pasti setiap detik perempuan itu tertawa karena
mereka akan pergi ke Italia. Buliran hangat itu kembali menitik.
****
Kedua telapak kaki Ify tak
hentinya mengetuk-ngetukkan ubin. Tampak sekali gadis berleher jenjang itu
sedang gelisah. Pikirannya campur aduk. Setidaknya, ada secercah harapan bahwa
di dalam deposit box itu terdapat berlian sumber masalah hidupnya.
Ify membuka deposit box itu
dengan hati-hati layaknya jika sedikit saja gadis itu ceroboh maka benda
tersebut akan rusak. Ny.Zerin yang melihat sikap tegang anaknya pun ikut
tegang. Pemandangan pertama kali yang disuguhkan adalah sekumpulan dokumen.
Tentu, gadis itu tidak akan menyerah begitu saja. Jarinya mulai mengobrak-abrik
isi depoit box tersebut, mana tahu ada berlian yang terselip di dalamnya.
Tidak ada berlian. Namun ada
selembar foto yang mungkin lebih mengejutkan dibandingkan jika berlian di
dalamnya. Foto Acha, tunangan Rio, gadis yang sedang dibicarakan. Sungguh, foto
itu telah menghancurkan kepercayaan Ify terhadap ayahnya.
“Ada apa Fy?”
Ny.zerin melihat foto itu dengan
tanpa ekspresi. Tentu dengan perasaan yang jauh lebih kacau dari anaknya.
****
Seorang pemuda bermata biru
terbangun dari tidurnya. Pria itu mengecek ponselnya dan mendapati pesan dari
seseorang yang sangat dirindukannya. Dan ternyata pesan tersebut berupa video
Sivia.
“Aku akan sekolah ke New York,
Ray. Jangan ganggu aku!”
Ray tersenyum sinis. Ke New York?
Aku akan menyusul mu Sivia.
****
Mathin melirik sadis dengan apa
yang ada di hadapannya. Seorang mayat yang baru saja terbunuh dan berlumuran
darah, tentunya sedikit bau amis. Mathin meneguk ludah dalam dengan apa yang
telah dilakukan pamannya, Tayyar.
“Ada apa?” Tanya Tayyar sambil
membersihkan wajahnya yang terkena semburan darah dengan tissue. “Aku harap,
itu adalah kabar baik.”
“Aku tidak tahu ini kabar baik
atau buruk. Namun, Ify punya seorang kekasih.”
“Kekaih? Siapa namanya?
Mathin menggeleng menunjukkan
ketidak tahuannya. Memang itu lah nyatanya. Bagaimana mungkin dia tahu,
sementara fotonya saja buram.
“Cepat kau cari tahu!”
“Baik Paman!”
****
“Aku tidak menemukan berliannya.”
Keluh Ify. Gadis cantik itu menatap langit yang berhiaskan bintang. Mata
bulatnya mentap penuh kagum pada setiap bintang disana. Ingin sekali gadis itu
terbang ke langit dan menjelma menjadi salah satu diantara milyaran bintang.
“Kita lupakan berliannya.” Jawab
Mathin dengan tenang.
“Apa maksud mu?” Ify tersedak
mendengar penuturan Mathin. Oi, bukankah pria ini yang memaksanya menemukan
berlian tersebut?
“Kita buat kesepakatan baru.”
“Apa yang kau inginkan?” Tanya
Ify penuh selidik. Penjahat tidak mungkin selembut ini.
“Kau harus mencuci uang kotor
kami. Kau pergi ke Roma dan mengirim uang kotor itu melalui rekening mu ke
rekening kami.”
Ify mengernyitkan dahinya.
Sungguh demi apa pun, gadis bermata cokelat itu tidak mengerti. Tapi ia yakin,
apa yang telah diminta Mathin adalah sesuatu yang buruk. “Aku tidak bisa. Ini
tidak benar. Aku tak pernah melakukan kejahatan selama hidup ku.”
“Oh ya? Sayangnya, aku dan Ahmed
Denizer adalah partner.” Kata Mathin santai tanpa mempedulikan Ify yang
benar-benar kalut saat ini. “Aku tidak ingin membuang waktu ku.” Mathin
meninggalkan Ify dengan mobilnya.
“Hey! Apa yang akan terjadi
kepada Sivia?!” Teriak Ify sambil berusaha mengejar mobil Mathin.
Sebuah video terkirim kepadanya.
Gadis itu dengan buru-buru melihat video tersebut dan mendapati bagaimana para
mafia tersebut menyiksa Sivia. Ify kembali menangis. Gadis itu lemah dan jatuh
terduduk di lantai memandangi adik nya yang menderita di sana. Ingin rasanya ia
saja yang disiksa. Kenapa harus Sivia?!
Ponsel Ify berdering. “Kau
binatang! Kau binatang! Bagaimana kau bisa melakukan hal sekejam itu?” Tanya
Ify sambil berteriak.
“Diam! Kalau kau tidak diam, aku
akan merobek tenggorokan adik mu!” Kata Mathin.
Ify berusaha tenang meskipun
dadanya naik turun menahan emosi. “Baiklah aku diam. Aku berjanji akan
melakukan perintah mu.”
“Bagus. Kamis pagi jam 10. Kau
harus sudah berada di bandara. Tunggu perintah selanjutnya.”
****
“Aku tidak yakin jika Ify bisa
melakukannya.” Kata Mathin sambil menatap Ify dibaik jendela mobil.
“Serahkan pada ku. Kita lihat apa
dia menutup mulutnya atau tidak.” Kata Tayyar dingin.
****
“Aku tahu kau keluar dari
pekerjaan mu.” Kata Shilla berusaha menenangkan kekasihnya.
Gabriel menghela napas, memang
itu lah adanya. Ia di keluarkan dari pekerjaanya dan dia sama sekali tidak tahu
harus apa sekarang. “Terima kasih atas segalanya. Aku akan mencari rumah. Sudah
hampir satu bulan aku tinggal di sini.”
“Jangan begitu, itu tidak
masalah. Asalkan kau tidak bosan kepada ku, aku akan senang.” Jawab Shilla
sambil tersenyum.
“Mmm, apa kau sudah memecahkan
misteri tentang sahabat mu itu?” Tanya Gabriel yang sepertinya teringat seuatu.
“Ify menyembunyikan sesuatu dari
ku. Tapi, aku akan tahu nanti.Aku sangat yakin Ahmed Denizer punya simpanan
harta.”
“Sudahlah, ini bukan urusan
kita.” Gabriel bingung dengan apa yang ada di pkiran Shilla. Memang apa
untungnya mengurusi urusan orang lain?
“Bukan urusan kita?” Tanya Shilla
sambil mengangkat sebelah alisnya. “Aku bekerja mati-matian untuk mereka. Aku
tahu cepat atau lambat mereka akan melempar ku ke jalan. Tapi tidak akan
semudah itu,. Aku tidak akan pergi tanpa membawa apa pun.Aku akan mendapat kan
milik ku dan pergi.” Ucap Shilla. Keduanya saling menautkan bibir dalam
kedinginan malam.
****
“Mungkin saja pria itu Ahmed
menyukai Acha dan memberinya banyak hadiah. Setelah tahu berlian yang Ahmed
berikan palsu, Acha kemudian membunuh Ahmed.”
Sudah satu jam yang lalu, Cakka
dan Rio beradu mulut. Cakka masih kekeuh dengan pendapatnya. Rio tak menerima
analisa Cakka dan menghadiahi pria berkulit putih itu dengan tamparan. Ujung
bibir Cakka menitikkan darah. Ia tak percaya dengan apa yang dilakukan Rio
kepadanya. Sementara Agni hanya diam tanpa tahu apa yang harus dilakukan.
Rio pergi dari rumah Agni. Agni
mengejarnya dari belakang. “Kau jangan terlalu memikirkan perkataan Cakka.”
Rio membalikkan tubunya. “Kau
juga berpikiran sama dengan dia?”
“Aku tidak tahu. Tapi aku setuju
dengan pendapat mu, jika kunci dari semuanya adalah Ify.”
Rio tersenyum karena Agni masih
mempercayainya. “Terima kasih.”
****
“Mengapa kau tidak mengatakan hal
penting itu kepada ku?” Tanya Ny.Zerin.
Ify meneguk ludah dalam.
Kemungkinan besar Ibunya sudah tahu apa yang terjadi pada Sivia, mengingat
Paman Tayyar berada di rumahnya.
“Aku berterima kasih atas bantuan
mu Tayyar. Sivia tinggal di hotel mu. Kami telah merepotkan mu Tayyar.” Ucap
Ny.Zerin dengan wajah cerianya.
“Ah tidak usah berlebihan!
Baiklah, aku harus pergi sekarang.”
“Biar aku yang mengantar mu
Paman!” Ucap Ify yang berusaha menutupi kekagetannya. Ia mengambil jaket
tebalnya dan mengantarkan Paman Tayyar ke luar.
“Ada apa Fy? Apa yang terjadi?
Aku tidak bisa berkata di depan Ibu mu. Dimana Sivia? Apakah ada sesuatu yang
mencemaskan?” Tanya Tayyar pura-pura tidak tahu.
Ify menghela napas. Ia ingin
menceritakan apa yang terjadi namun ia ragu. “Sivia tinggal bersama temannya.
Karena Ibu tidak suka pada temannya Sivia maka kami menyembunyikan hal itu. Aku
harap paman merahasiakan hal ini.”
“Baiklah.” Tayyar tersenyum.
Tayyar masuk ke dalam mobilnya
dan dihadiahi pertanyaan dari Mathin. “Bagaimana paman?”
“Ify lolos tes. Dia akan
melakukan pekerjaan kita. Dia gadis dengan kemauan yang kuat.”
****
~~~~~~~~~~~~~~~BERSAMBUNG~~~~~~~~~~~~~~~~~